Sekolah Gajah Wong: Sekolah Para Pemulung

Tim Advokasi Arus Bawah atau disingkat TAABAH mempelopori penyelenggaraan sekolah pendidikan anak usia dini atau paud yang diberi nama Sekolah Gajahwong. Sekolah ini ditujukan bagi warga pinggir sungai Gajah Wong yang notabene warga pengemis dan pengamen.

Kegiatan serta advokasi yang dilakukan oleh TAABAH membawa komunitas ini bisa terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai warga negara Indonesia. Dari berbagai kegiatan pemberdayaannya yang belum banyak tersentuh adalah keberadaan anak-anak khususnya pada anak usia dini yang setiap tahun semakin bertambah jumlahnya. Anak-anak di tempat ini masih dilibatkan dalam urusan kebutuhan ekonomi seperti mengamen, mengemis, memulung dan lain sebagainya.

Mereka menamai komunitasnya sebagai Komunitas Ledhok Timoho yang mendiami Kawasan Timoho timur Yogyakarta, tepat dipinggir sungai gajah wong. Satu satunya akses keluar masuk warga adalah jalan selebar 1.5 meter. Warga komunitas tinggal di sekitar jembatan peninggalan pemerintah orde baru yang selesai dibangun pada tahun 1998.

Perjuangan Komunitas Ledhok Timoho mendirikan sekolah gajahwong mendapat titik terang. Beberapa waktu lalu sekolah ini diresmikan. Warga Komunitas Ledhok Timoho bergotong royong mengadakan acara peresmian Sekolah Gajahwong.

Acara dengan tajuk Festival Sekolah Gajah Wong dibuat sebagai seremoni peresmian. Barang-barang bekas serta sampah-sampah yang dalam kesehariannya sangat erat dengan masyarakat ini menjadi bahan baku untuk hiasan dan aksesories selama acara berlangsung. Anak-anak serta rekan-rekan seniman jalanan pun diberi kesempatan untuk tampil dipanggung sederhana ini. Turut hadir pula putri sulung Sri Sultan Hamengkubuwono X, GKR Pembayun yang dalam kesempatan itu menandatangani batu peresmian gedung Sekolah Gajahwong.

Komunitas Ledhok Timoho saat ini telah beranggotakan 179 jiwa yang terdiri dari 55 Kepala Keluarga. Komunitas ini berharap segera mendapat pengakuan dari pemerintah secara administrative. Mereka berharap keberadaan komunitas ini bisa diakui melalui pemekaran wilayah RT baru di Kelurahan Muja Muju atau menjadi bagian wilayah administratif RT yang sudah ada.

Sekolah Gajahwong diharapkan bisa merubah nasib garis keturunan warga Komunitas Ledhok Timoho. Mereka kini berkeinginan kuat agar anak-anaknya kelak memiliki nasib yang lebih baik dengan bekal ilmu yang didapat dari bangku sekolah.

[co-pas dari Jogja TV]

Sekolah Gajahwong Bentuk Karakter Anak

JOGJA- Festival Sekolah Gajahwong resmi dibuka oleh Ketua KNPI DIJ GKR Pembayun kemarin (24/1). Sekolah Gajahwong berlokasi di pinggir Sungai Gajahwong, Kota Jogja. Dalam sambutannya, Pembayun berharap dengan dibukanya sekolah gratis bagi anak-anak usia dini dari kalangan warga miskin bisa membentuk karakter anak.”Mereka memiliki hak belajar dan mengenyam pendidikan. Sudah seharusnya orangtua mendukung pembentukan karakter anak. Baik di rumah maupun di sekolah,” harap Pembayun yang datang didampingi suaminya KPH Wironegoro ini.
Ke depan relawan yang akan membantu mengajar di sekolah itu akan ditambah.Kordinator Sekolah Gajahwong Faiz Fakhrudin mengatakan hadirnya Sekolah Gajahwong merupakan perjuangan warga Ledhok Timoho bersama Tim advokasi Arus Bawah (Taabah). Itu semua dalam rangka mendapatkan hak seperti akses pendidikan, kesehatan,dan akses lainnya.”Meski baru satu ruangan kelas, tapi sudah bisa menampung 16 anak-anak. Ke depan tentunya lebih baik lagi,” katanya.Sedangkan Kordinator Taabah Bang Bengbenk mengatakan mereka yang belajar di Sekolah Gajah Wong memiliki kepercayaan diri. Mereka juga bisa bersaing dengan anak-anak pada umumnya.
“Tidak hanya pembinaan pada anak. Pemberdayaan pertanian dan perkebunan juga kami lakukan,” ungkapnya. Wali Kota Jogja Haryadi Suyuti (HS) berharap Sekolah Gajahwong bisa menjadi wadah pemberdayaan anak-anak. Juga memberikan kesempatan tumbuh dan berkembang meraih prestasi.”Semoga dengan pengabdian atas dibangunnya Sekolah Gajahwong bisa menjunjung tinggi hak anak untuk masa depan,” harap HS. (hrp/kus).

Sumber: Radar Jogja

Sekolah Gajah Wong Jogja Bantu Pendidikan Kaum Pinggiran

GKR Pembayun (paling kanan) hadir dalam Festival Sekolah Gajah Wong, Kamis (24/1/2013) di Jogja. JIBI/Harian Jogja/Abdul Hamied Razak

JOGJA — Untuk meningkatkan taraf hidup dan pendidikan kaum pinggiran di bantaran Kali Gajah Wong, warga Ledok Timoho, Balerejo, Muja-muju, Umbulharjo, Jogja, mendirikan Sekolah Gajah Wong.

Koordinator Komunitas Ledok Timoho, Bambang Sudiro mengatakan, hampir 20 tahun lamanya puluhan warga di bantaran sungai tersebut dianggap ilegal. Selain dicap negatif, keberadaan mereka tidak mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Dengan adanya Sekolah Gajah Wong tersebut, diharapkan bisa mengubah taraf hidup masyarakat di pinggiran sungai tersebut.

“Selama ini banyak kesan jelek yang kami dapat. Sebab, mayoritas yang tinggal disini anak-anak jalanan. Padahal mereka menyimpan banyak potensi yang perlu dibimbing bersama,” ungkapnya di sela pembukaan Festival Sekolah Gajah Wong di kawasan Ledok Timoho, Kamis (24/1/2013).

Festival Sekolah Gajah Wong ini akan berlangsung sejak Kamis (24/1/2013) hingga Sabtu (26/1/2013) besok. Beberapa kegiatannya antara lain berupa pemasangan instalasi hasil karya anak pinggiran Sungai Gajah Wong, pementasan seni anak jalanan, workshop pembuanan mainan edukatif serta pengajian akbar oleh Prof Muhammad.

Di sekitar sekolah tersebut terdapat banyak anak dari kalangan tak mampu, keluarga marginal, tuna susila, pemulung, pengamen dan anak-anak jalanan. Mereka tinggal di Ledhok Timoho, Balerejo RT 50/05 Mujamuju, Umbulharjo, Jogja.

Pendirian Sekolah Gajah Wong tersebut, jelas Bambang, merupakan salah satu bentuk perjuangan warga setempat bersama para relawan. Saat ini, baru terdapat satu ruang kelas dengan 16 anak-anak usia dini sudah mengikuti proses belajar-mengajar non formal. Mereka diajar oleh dua orang guru pendamping.

Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) DIY, GKR Pembayun yang hadir dalam festival tersebut tak kalah antusiasnya menyaksikan festival tersebut. Menurut Pembayun, pembinaan karakter warga harus diutamakan. Dia mengakatan, Sekolah Gajah Wong tersebut masih perlu didukung oleh para relawan yang rela menyumbangkan tenaga dan pikirannya.

 

Sumber: Harjo

PAUD Gajahwong

Murid PAUD Gajahwong dan SD Tumbuh

Pagi tadi saya bersepeda ke bantaran Kali Gadjah Wong di Ledhok, Timoho (sekitar 400 meter ke utara di perempatan dekat SMK 8 Yogyakarta, belakang perumahan APMD). Pagi ini saya diundang oleh seorang teman yang aktif menjadi relawan di Komunitas Ledhok, kampung pemulung di pusat kota.

Komunitas ini dibangun oleh Bembeng, seorang relawan yang menginginkan warga bantaran kali ini mendapat hak yang sama dengan warga Jogja lainnya, terutama dalam akses pendidikan dan kesehatan. Mengingat, mereka disebut “penghuni ilegal” karena menempati tanah yang –selain tak bersertifikat—juga tak boleh huni akibat ancaman banjir.

Di bawah payung Tabaah (Tim Advokasi Arus Bawah) –organisasi terdaftar yang diketuai Bembeng, Komunitas Ledhok memiliki sejumlah kegiatan yang ditujukan untuk memberdayakan warga, seperti PAUD, pertanian organik yang memanfaatkan sedikit lahan tersisa (berbagai sayuran dan daun mint), peternakan ayam, serta pengelolaan sampah.

PAUD adalah kegiatan utama. Beberapa tahun lalu, hampir seluruh anak usia sekolah di kampung ini diajak mengemis oleh orang ibunya. Anak remaja mengamen di jalan-jalan kota, sedangkan ayahnya memulung. Seluruh keluarga menjadi orang jalanan. Dengan kreativitas Bembeng beserta para pengajar lain, banyak anak tertarik ikut bersekolah di PAUD Gajah Wong. Yang tertarik tak hanya anak, namun juga orangtuanya. Seiring bangkitnya kesadaran bahwa anak tak seharusnya diajak bekerja menafkahi keluarga, para ortu kiini lebih merasa aman ketika anak-anaknya bermain di PAUD dibanding di jalan. Hingga kini, tinggal seorang anak lagi yang ‘bekerja’ di jalan.

Pagi itu, PAUD GW mendapat kunjungan dari SD Tumbuh. Anak-anak (yang kebanyakan dari keluarga sangat mampu ini, dan sebagian anak ekspatriat) Tumbuh diajak bermain dengan PAUD: keliling kampung untuk mengenal lingkungan, menanam tomat, dst. Sayang terjadi sedikit gap antara anak-anak Tumbuh dan PAUD ini. Saya sedih melihat tatapan seorang anak berbaju lusuh dari PAUD ke anak-anak Tumbuh. Tapi ini pelajaran baik, ya. Entah baik buat siapa, bingung saya menjelaskannya… Hal yang dapat kita bantu:

  1. PAUD GW membutuhkan relawan tetap. Tetap di sini berarti bahwa relawan yang bekerja memiliki komitmen tinggi untuk menyelesaikan pekerjaannya, minimal dalam 1 semester ajar. Perubahan “kakak guru” yang datang membuat anak-anak sulit menyesuaikan diri. Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini di UNY mungkin bisa kita tembusi?
  2. Saat ini PAUD memiliki hanya satu kelas, akibat keterbatasan tenaga pengajar & ruang ajar. Mulai tahun depan mereka berencana membagi kelas berdasar usia, menjadi dua kelas. Sebab kebutuhan anak 0-3 dan 4-6 tahun akan berbeda.
  3. Mereka juga mempunyai program untuk usia remaja, yaitu kelas untuk membantu mengerjakan PR sekolah. Anak-anak yang sudah masuk usia SD-SMU akan bersekolah di sekolah-sekolah negeri di sekitaran Timoho. Sayangnya, minat belajar pemuda usia SMP-SMA ini sangat rendah, akibat mereka lebih senang mengamen di jalan…
  4. DANA! Meski bukan persoalan utama, ini menjadi sebuah kendala besar bagi Bembeng untuk mengembangkan komunitas ini. Mereka ingin ada semacam poses orangtua asuh bagi tiap anak di sini.
  5. Teman-teman TABAAH mempunyai website. Mereka menginginkan perubahan pada website untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka ada. http://www.taabah.com/

Dalam rangka ulang tahun dan wisuda angkatan pertama PAUD Gajah Wong, Komunitas Ledhok akan mengadakan Festival Sekolah Gajah Wong. Ada banyak hal yang bisa kita bantu di sini terkait kebutuhan penyelenggaraan. Cek infonya di sini. Lihat foto lain di sini.

Trims pada @kireynazkiya untuk ajakannya.

Mlekom,

AZ

*co-pas dari blog Adriani Zulivan.

Safari Ramadhan Jamiyatud Dakwah

Jam’iyyatuddakwah Al-Islamiyyah (JDI) BEM Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga mengadakan Safari Ramadhan 1433H. Salah satu kegiatannya bertempat di Ledhok Timoho yang digelar tanggal 5 Agustus 2012.

Sumber: TV UIN Suka